Habib Hasan bin Ahmad Baharun

Habib Hasan bin Ahmad BaharunAl Habib Hasan bin Ahmad Baharun, lahir di Sumenep pada tanggal 11 Juni 1934 dan merupakan putra pertama dari empat bersaudara dari Al Habib Ahmad bin Husein dengan Fatmah binti Ahmad Bachabazy. Adapun silsilah dzahabiyah yang mulia dari beliau adalah Al Habib Hasan Bin Ahmad bin Husein bin Tohir bin Umar bin Baharun.

Sejak kecil kedisiplinan dan kesederhanaan telah ditanamkan oleh orang tuanya sehingga mengantarkannya tumbuh menjadi sosok pribadi yang mempunyai akhlak dan sifat yang terpuji.

Pendidikan agama selain diperoleh dari bimbingan orang tuanya, juga beliau dapatkan dari Madrasah Makarimul Akhlaq, Sumenep, dan dari kakeknya dari pihak ibu yang dikenal sebagai ulama besar dan disegani di Kabupaten Sumenep yaitu Ustadz Achmad bin Muhammad Bachabazy. Beliau sering di ajak kakeknya untuk menemani dalam undangan berdakwah. Setelah kakeknya meninggal dunia, beliau belajar ilmu agama dari paman-pamannya yaitu Ustadz Usman bin Ahmad Bachabazy dan Ustadz Umar bin Ahmad Bachabazy. Sewaktu menetap di Surabaya, beliau menjadi murid kesayangan seorang ulama yang faqih (ahli fikih), Habib Umar Baagil. Kepada gurunya ini , beliau banyak memperdalam ilmu fikih.

Semangat belajar Ustadz Hasan Baharun, sejak kecil memang dikenal rajin dan ulet, bahkan apabila bulan Ramadhan tiba, beliau belajar semalam suntuk, mulai sehabis tadarrus (membaca Al Qur’an) sampai menjelang subuh.

Semasa remaja beliau senang berorganisasi, baik remaja masjid ataupun organisasi lainnya, seperti Persatuan Pelajar Islam (PII), bahkan beliau pernah diutus untuk mengikuti Muktamar I PII seluruh Indonesia yang diselenggarakan di Semarang. Dan pernah menjabat Ketua Pandu Fatah Al Islam di Sumenep. Beliau aktif pula di partai politik yaitu Partai NU (Nahdlatul Ulama) dan menjadi juru kampanye yang dikenal berani dan tegas menyampaikan kebenaran. Dan di Pasuruan menjabat sebagai Ketua Majlis Ulama Indonesia ( MUI ) sampai akhir hayat beliau.

Setelah menamatkan sekolah, beliau sering mengikuti ayahnya ke Masalembu, untuk berdakwah sambil membawa barang dagangan. Keluarga Ustadz Hasan pada saat itu, dikenal ramah dan ringan tangan, apabila ada orang yang tidak mampu membayar hutangnya disuruh membayar semampunya, bahkan dibebaskan. Sifat-sifat inilah yang diwarisi beliau yang dikenal apabila berdagang, tidak pernah membawa untung karena senantiasa membebaskan orang-orang yang tidak mampu membayarnya.

Dan pada waktu berkeliling menjajakan dagangan, beliau dikenal suka membantu menyelesaikan permasalahan dan konflik yang terjadi di masyarakat. Berdagang yang beliau lakukan adalah untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan dijadikan sarana pendekatan untuk berdakwah kepada masyarakat. Kedermawanan dan belas kasihnya kepada orang yang tidak mampu, menyebabkan dagangannya tidak pernah berkembang karena keuntungannya diberikan kepada masyarakat yang tidak mampu, serta membebaskan orang yang tidak mampu membayarnya.

Selain itu, beliau mempunyai keahlian memotret dan cetak film yang digunakannya sebagai daya tarik dan mengumpulkan massa untuk diberikan pengajaran. Karena untuk pengambilan hasil potret sudah ditentukan waktunya, sehingga apabila mereka yang hendak mengambil hasil cetaknya sudah berkumpul, dan sambil menunggu cetak film selesai, beliau isi waktu tersebut dengan ceramah dan tanya jawab masalah agama.

Pada tahun 1966 beliau merantau ke Pontianak, Kalimantan Barat, berdakwah keluar masuk dari satu desa ke desa yang lainnya dan melewati hutan belantara yang penuh lumpur dan rawa-rawa serta binatang buas dan ular berbisa. Namun dengan penuh kesabaran dan ketabahan, semua itu tidak dianggapnya sebagai rintangan . Dengan penuh kearifan dan bijaksana, dikenalkannya dakwah Islam kepada orang-orang yang masih awam terhadap Islam. Dan alhamdulillah dakwah yang beliau lakukan mendapat sambutan yang cukup baik dari masyarakat ataupun tokoh-tokohnya. Di setiap daerah yang dimasuki untuk berdakwah, beliau senantiasa bersilaturahmi terlebih dahulu kepada tokoh masyarakat dan ulama setempat untuk memberitahu, sekaligus minta izin untuk berdakwah di daerah tersebut. Sehingga dengan budi pekerti, akhlak dan sifat-sifat yang terpuji itulah masyarakat beserta tokohnya banyak yang simpati dan mendukung terhadap dakwah yang beliau lakukan.

Uniknya tiap kali beliau berdakwah, senantiasa membawa seperangkat peralatan pengeras suara (Loudspeaker/Sound System), yang pada saat itu memang masih langka dan sulit dicari di Pontianak. Hal ini dilakukannya agar tidak merepotkan orang yang mengundangnya untuk mencari sewaan pengeras suara.

Dan tak lupa pula beliau membawa satir/tabir sebagai kain pemisah untuk menghindari terjadinya “ikhtilat” (percampuran) antara laki-laki dan perempuan. Beliau berkeyakinan, jika di tempat tersebut terjadi perbuatan maksiat atau dosa, sudah tentu beliau turut berdosa. Dan alasan lainnya akan menghalang-halangi masuknya hidayah Allah swt, sedangkan pahala dakwah itu sendiri belum tentu diterima Allah swt.

Selain berdakwah beliau aktif pula di partai politik yaitu Partai NU (Nahdlatul Ulama) dan menjadi juru kampanye yang dikenal berani dan tegas di dalam menyampaikan kebenaran, sehingga pada saat itu sempat diperiksa dan ditahan. Namun masyarakat akan melakukan demonstrasi besar-besaran apabila beliau tidak segera dikeluarkan dan atas bantuan pamannya sendiri membebaskannya dari tahanan.

Dan tak lama setelah kejadian tersebut, sekitar tahun 1970 atas permintaan dan perintah dari ibundanya, beliau pulang ke Madura dan disuruh untuk berdakwah di Madura atau di Pulau Jawa saja. Namun karena kegigihan beliau selama 2 tahun masih tetap aktif datang ke Pontianak untuk berdakwah walaupun telah menetap di Jawa Timur.

Pada tahun 1972 beliau mengajar di pondok pesantren Gondanglegi Malang, mengembangkan Bahasa Arab, sehingga pondok pesantren Gondanglegi pada saat itu terkenal maju dalam bidang Bahasa Arabnya.

Kemudian beliau mengajar dan mengabdikan diri di pondok pesantren Al Khairiyah di Bondowoso, bersama ustadz Abdullah Abdun dan habib Husein Al Habsy. Pada masa itu beliau juga di minta oleh habib Husein Al Habsy untuk mengajar di pondok pesantren Yayasan Pendidikan Islam (YAPI), yang baru di rintis Habib Husein. Selain itu beliau juga pernah mengajar di pondok pesantren Sidogiri di Pasuruan, pondok pesantren Salafiyah Syafi’iyah Asembagus di Situbondo, pondok pesantren Langitan di Tuban.

Sejarah pendirian pondok pesantren dan perkembangannya

Pondok pesantren Darul Lughah Wad Da’wah (Dalwa) didirikan pada tahun 1981 di Bangil, dengan menempati sebuah rumah kontrakan. Dengan penuh ketelatenan dan kesabaran Ustadz Hasan Baharun mengasuh dan mendidik para santri, sehingga mendapat kepercayaan dari masyarakat dan dalam waktu yang relatif singkat jumlah santri berkembang dengan pesat.

Selain membina santri putra, pada tahun 1983 pondok pesantren ini menerima santri putri yang berjumlah 16 orang yang bertempat di daerah yang sama. Dan pada tahun 1984 lokal pemondokan santri menempati sampai sebanyak 13 rumah kontrakan.

Atas petunjuk Musyrif Ma’had Darullughah Wadda’wah Abuya Sayyid Muhammad Alwi Al-Maliki Al-Hasani, pada tahun 1985 pondok pesantren Darullughah Wadda’wah dipindah ke Desa Raci.

Kesuksesan Ustadz Hasan Baharun dalam berdakwah dan membangun pondok pesantren Darullughah Wad Da’wah tidak lepas dari peran besar dari seorang wanita salihah, yang sudah terdidik dan terlatih kesabaran, kegigihan serta ketegarannya dalam menghadapi kehidupan oleh ayahandanya Al-Habib Muhammad Al-Hinduan. Beliau adalah Syarifah Khodijah binti Muhammad Al-Hinduan, istri tercinta yang senantiasa dengan penuh ketabahan dan kesabaran mendampingi dalam pahitnya perjuangan, serta senantiasa memberikan semangat bagi sang suami. Bahkan jiwa besar dan perjuangannya ditunjukkan oleh ustadzah, ketika Ustadz Hasan membutuhkan dana untuk pondok pesantren, maka ustadzah dengan senang hati, menjual seluruh barang-barang berharga dan semua perhiasan yang dimilikinya, bahkan yang mengandung kenangan dan sejarah dijualnya pula.

Dan pada tahun 2006 dibuka pondok pesantren II Darullughah Wadda’wah yang berlokasi di Desa Pandean, Kecamatan Rembang, Kabupaten Pasuruan, Jawa timur.

Pemikiran dan Konsep-konsep Pendidikan Ustadz Hasan Baharun

Secara singkat akan diuraikan beberapa pemikiran dan konsep-konsep pendidikan yang beliau jalankan dalam mengelola lembaga pendidikan dan pondok pesantren antara lain.

  1. Apabila seorang kiyai sudah mendirikan pondok pesantren, maka dia harus rela meninggalkan semua aktifitas dan hobinya yang ada diluar pondok pesantren, yang dapat mengganggu konsentrasinya dalam membina santri. Beliau mengibaratkan seorang pengasuh pondok pesantren sebagai induk ayam yang sedang mengerami telur, maka apabila sering meninggalkan sarangnya kemungkinan besar telur tersebut tidak jadi menetas, dan telur tersebut akan busuk.
  2. Untuk mendirikan pondok pesantren harus dijiwai dengan ikhlas dan guru-guru yang akan mengajar harus diseleksi tingkat ikhlas-nya, sehingga tidak akan menularkan kepada santri, ilmu yang tidak ikhlas dan seterusnya. “Dan apabila diniatkan dengan hati yang ikhlas maka pondok pesantren tidak usah khawatir akan datangnya murid sebab Allah akan mengumumkan kepada para malaikat untuk menanamkan kemantapan pada kaum muslimin.” Begitu jawaban Ustadz Hasan ketika ditanya sistem promosi apa yang dipakainya, sehingga sangat cepat perkembangan santri-nya dan berasal dari berbagai propinsi bahkan dari beberapa negara tetangga.
  3. Sasaran yang diutamakan dan mendapat perhatian khusus dari beliau adalah :
    • Putra para kiyai dan habaib, khususnya yang mempunyai pondok pesantren dan majelis ta’lim, hal ini dilakukan karena mereka sudah jelas ditunggu oleh umat dan sebagai proses pengkaderan, agar mereka bisa menjadi penerus orang tua mereka memimpin pondok pesantren.
    • Putra-putra daerah yang disana jarang ada ulama/kiyai/ustadz, sehingga diharapkan nanti bisa pulang kembali untuk berdakwah menyebarkan Islam dan merintis lembaga pendidikan/majelis ta’lim.
    • Putra aghniya, yang dengan masuknya putra mereka di pondok pesantren dengan beberapa pertimbangan yaitu diharapkan perhatiannya terhadap Islam/pondok pesantren lebih besar dan sebagai perantara masuknya dakwah kepada orang tua mereka, menyelamatkan harta mereka, serta sebagai bentuk subsidi silang terhadap santri yang tidak mampu.
    • Putra-putri dari orang-orang yang pernah berjasa dalam perintisan pondok pesantren.

Hubungan Ustadz Hasan dengan Yaman
Makam Habib Hasan Baharun“Ustadz Hasan adalah orang pertama yang membuka kembali hubungan antara Yaman dan Indonesia setelah terputus puluhan tahun lamanya dan beliau yang mulai mengirimkan santrinya untuk belajar di Yaman sehingga semua pahala orang yang belajar ke Yaman akan kembali pahalanya kepada Al-Alim Al-Allamah Adda’i Ilallah Al-Ustadz Hasan Baharun.” Demikian penuturan Habib Umar Bin hafidz di depan para santri dan ulama dalam ziarahnya di pondok pesantren Dalwa, Bangil, 2 tahun setelah wafatnya Ustadz Hasan.
Sebelum masa itu, sejumlah pelajar dari Indonesia memang sudah ada yang menuntut ilmu ke Rubath Tarim, tetapi tidak dalam sebuah koordinasi seperti saat ini. Maka kemudian pada tahun 1994, sekitar 30 pelajar Indonesia berangkat ke Kota Tarim sebagai angkatan pertama murid dari Habib Umar bin Hafidz.
Kini seluruh anak-anaknya bergerak di bidang ilmu dan tetap bersatu dalam melanjutkan dakwah sang ayah.
Pada tanggal 23 Mei 1999 M bertepatan tanggal 8 Shafar 1420 H beliau meninggal dunia, dan kemudian pondok pesantren Dalwa dilanjutkan kepemimpinannya oleh putra tertua beliau yaitu Habib Ali Zainal Abidin, dibantu adik-adiknya.
Masih terdengar dalam ingatan mereka nasihat dari sang ayah,”Saya ini punya penyakit jantung, jadi harus “ngebut”. Sekarang bukan waktunya beristirahat, sekarang waktunya berjuang. Kalau sudah di kuburan nanti, itu baru beristirahat. Oleh sebab itu, untuk sekarang jangan pernah istirahat.

Sumber: Majlis Dzikrullah Pekojan

Explore posts in the same categories: Islam

Tag: ,

You can comment below, or link to this permanent URL from your own site.

Tinggalkan komentar